Jumat, 07 Desember 2007

Media Teroris atau Teroris media



Proses Konstruksi Media Internasional Terhadap Citra “Teroris”



Pagi hari 11 September 2002, masyarakat kota New York mengawali kehidupan seperti biasa. Ada yang berangkat untuk bekerja, bersekolah dan berolah raga. Tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak masyarakat New York jika hari ini akan terjadi peristiwa yang luar biasa dan selalu dikenang oleh rakyat Amerika sebagai salah satu peristiwa terburuk yang menimpa mereka di abad 21.


Di tengah cuaca yang cerah kota New York, kota terbesar di Amerika Serikat, tiba-tiba masyarakat dikagetkan dengan pemandangan luar biasa. Entah dari mana asalnya pesawat boeing 747 berbadan putih milik maskapai penerbangan America Airlines menabrak gedung World Trade Center (WTC) atau yang biasa disebut ”The Twin Tower” atau menara kembar. Tidak lama setelah berlangsung kejadian pertama, tiba-tiba pesawat kedua muncul dan tepat menabrak gedung WTC yang satunya. Akhirnya Tidak lama berselang kedua gedung yang mendapatkan predikat sebagai gedung tertinggi di dunia ini pun runtuh jatuh ke bumi menyisakan kekagetan, kebingungan dan kemarahan rakyat Amerika.


Keheranan rakyat Amerika ternyata tidak berhenti sampai disini, saat media massa nasional Amerika melaporkan kepada publik tentang dua pesawat lain yang menabrakkan diri dengan cara yang sama ke Pentagon dan satunya jatuh di padang rumput Pensylvania. Dikabarkan pesawat yang jatuh di padang rumput ini, crew dan penumpangnya memberikan perlawanan terhadap pembajak. Diperkirakan pessawat yang jatuh ini akan menabrakkan diri ke gedung putih.


Peristiwa tanggal 11 bulan September ini begitu menggetarkan dunia. Masyarakat bumi terpana dengan apa yang terjadi. Hampir seluruh media massa internasional seperti CNN, ABC, Time, dan BBC meliput peristiwa ini dengan sangat antusias. Bahkan tidak hanya melaporkan persitiwa yang ada dalam bentuk berita tetapi juga memberikan analisis-analisis pakar di bidangnya, memberikan laporan investigasi, menayangkan opini publik Amerika dan dunia tentang peritiswa ini. Tragedi ini pun berkembang menjadi bentuk komodifikasi media dan menjadi modal pencitraan publikasi (sosial currency) sebagaimana pernah disampaikan Jean Baudrilllard.(www. Hidayatullah.com)


Di tengah kebingungan dan kemarahan rakyat Amerika, tiba-tiba televisi dan media cetak Amerika mulai menayangkan dan mencetak gambar-gambar pelaku yang dirilis pemerintah. Bukan kebetulan semua pelaku diperlihatkan mempunyai bentuk muka khas orang arab, beragama Islam dan mempunyai nama yang berasal dari bahasa Arab. Seketika itu juga tanpa penyelidikan lebih lanjut sebagian besar public Amerika meyakini jika Al Qaedah di bawah pimpinan Osama Bin Laden adalah orang yang paling bertanggung jawab. Akhirnya secara membabibuta publik melampiaskan kemarahan pada komunitas Arab dan Muslim di Amerika

Beberapa waktu kemudian di tahun 2003, di belahan bumi yang lain terjadi ledakan Bom berkekuatan dashyat di pulau Bali, atau yang biasa disebut bom Bali dimana 202 orang terbunuh. Sebagian besar korban adalah warga negara asing dengan jumlah korban terbanyak warga Australia.


Beberapa tahun kemudian peristiwa peledakan Bom Bali terjadi lagi, kali ini disebut sebagai bom Bali II. Sebanyak 25 orang tewas dan 102 lainya luka-luka akibat terjadinya ledakan di dua tempat. Ada yang menarik dari pemberitaann media yang mampu menggambarkan secara gamblang bagaimana pencitraan kembali dibentuk.

Harian Sidney Morning Herald Australia menulis “Australia believes Jamaah Islamiah is likely responsible for the latest string of attacks – the same group blamed for the 2002 bombings”. “There is no doubt the al-Qaeda linked terror group Jamaah Islamiah (JI) is responsible for the latest Bali Bombings,” demikian SMH mengutip pernyataan Rohan Gunaratma. Rohan Gunaratma adalah kepala penelitian terorisme pada Singapore’s Institute of Defence and Strategic Studies. (www.Hidayatullah.com)

Sedangkan stasiun Televisi ABC menayangkan pernyataan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, kepada stasiun televisi ABC mengarahkan pelaku bom Bali II ini kepada Azahari Husin dan Noordin Top. “It wouldn’t be a surprise if this attack was tied up with those two people, but you can’t be certain this stage. It’s just got the characteristics of an al-Qaeda, well al-Qaeda but Jamaah Islamiah style attack and an attack that might have involved those two people. It’s mere speculation at this stage,” demikian pernyataan Downer. (ibid)


Secara terus-menerus dan berkelanjutan nama-nama dan wajah arab mulai sering didengar di Media cetak, Televisi dan radio-radio Internasional. Citra arab dan gerakan muslim bahkan agama Islam selalu dikaitkan secara membabibuta dengan Peristiwa Bom Marriot, Bom di kedutaan besar Australia, Bom jaringan kereta api di Spanyol, Bom kereta di India, dan berbagai kejadian kekerasan di Irak. Pemberitaan-pemberitaan tersebut semakin menguatkan citra orang-orang berpakaian gamis badui, berjenggot, berwajah Arab sebagai orang-orang Islam ekstrem, radikal, dan haus darah.


Padahal sesungguhnya tuduhan kepada anggota Al-Qaedah, Jamaah Islamiah, Hammas, Azahari Husin dan Noordin Top-pun sampai dengan detik ini masih saja bersifat tersangka (suspect) yang belum mampu dibuktikan kebenarannya secara jelas. Mungkin saja mereka dikambinghitamkan sebagai pelaku dalam serangkaian aksi teror di bumi ini. Fakta sebenarnya kita semua sedang menunggu dan bertanya-tanya dengan sikap ingin tahu.


Permasalahan di atas menunjukkan ada korelasi yang cukup signifikant antara media massa dan dampak yang diakibatkan dengan para khalayaknya. Menurut Severin, (2005) Media massa setidaknya menjadi sumber komunikasi. Dimana dampak media massa lebih dilihat sebagai dampak kognitif kepada masyarakat. Khalayak sendiri merupakan komunikan yang mengkonsumsi hasil rekonstruksi realitas yang diproduksi oleh media massa. Media massa pemberitaan diyakini oleh banyak orang (termasuk banyak pembuat keputusan) sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya.


Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang dikonstruksi dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa riil manusia. Berita sangat jauh dari realitas nyata. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.


Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia (Weltanschaung). Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis. (www.ekawenats.blogspot.com)

Sebagai sebuah proses sosial pemberitaan merupakan salah satu alat konstruksi realitas. Menurut Irwan Abdullah proses konstruksi itu bertumpu pada istilah dan nilai yang dibawa oleh sebuah bahasa yang digunakan untuk menjadi kekuatan dalam pencitraan.(Humaniora, 2003:03)


Dalam penyusunan beritanya mengenai terorisme sebagian besar media massa dan kantor pemberitaan Amerika pada khususnya dan barat pada umumnya, dalam hal ini negara-negara Eropa barat, Amerika belahan Utara dan Australia. Dalam pemberitaanya media massa internasional seringkali menggunakan istilah-istilah baru dalam bahasa seperti lahirnya kosakata baru Islam Fundamentalis, Islam Radikal, Ulama radikal, untuk memperkuat pesan. Hal itu dilakukan demi terciptanya modal pencitraan yang kuat dalam publikasi yang ujung-ujungnya adalah untuk komoditas media.


Semenjak peristiwa 11 september di Amerika, berita-berita tentang terorisme menjadi salah satu komoditas utama di media massa seluruh dunia. Ditambah dengan peristiwa-peristiwa teror yang terjadi di seluruh dunia. Pernyataan perang melawan teroris dan segala aktivitasnya yang dideklarasikan oleh presiden Amerika Serikat dan hampir seluruh pemimpin dunia menjadi bahan berita yang mampu mengisi headline berita media Internasional seperti CNN, BBC, ABC dan Time dan mereka benar-benar melakukannya.


Perang-perang lokal yang terjadi di belahan bumi menjadi bahan atau materi berita yang semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berita-berita tentang perampok bersenjata yang tidak jarang memakan korban telah menjadi bagian integral bagi media massa untuk menaikkan oplah media, baik media cetak maupun media elektronik. Banyak korban kekerasan dan peristiwa yang bersifat destruktif menjadi ladang panen yang siap dipanen bermanfaat untuk memperbanyak kuantitas profit ekonomi para pemilik modal media massa kontemporer. Bukan saja berita yang bersifat langsung dan keras yang laku di pasaran tapi juga berita-berita kelaparan, kemiskinan, ketidakberdayaan masyarakat dalam “teror-teror” simbolik yang dikembangkan di media massa. (www.ekawenats.blogspot.com)


Menurut salah satu pemikir kritis Amerika Serikat Noam Chomsky, dari beberapa sumber internet pemerintah Amerika Serikat memberikan setiap tahunnya 1 milyar dolar untuk propaganda dan kegiatan kehumasan. Sebagai contoh pada tahun 1996, Kongres Amerika Serikat memberikan dana sebesar 10 juta dollar kepada jaringan media massa dunia dan beberapa milyar dollar lagi untuk jaringan media besar lainnya. Untuk kompensasinya, pemerintah Amerika Serikat meminta adanya dukungan media terhadap kebijakan pemerintah.
Pada tahun 2003, Komisi Hukum Federal Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang yang memungkinkan media-media raksasa melakukan monopoli. Pemerintah Amerika Serikat justru mendorong agar perusahaan-perusahaan media saling melakukan merger sehingga bisa menjadi perusahaan media raksasa. Dengan harapan pemerintah Amerika Serikat, semakin sedikit perusahaan media, langkah-langkah yang ditempuh agar dapat mengontrol jaringan media massa dunia dan menjadikannya sebagai dominator informasi dunia akan lebih mudah.

Dengan kemampuan teknologi yang mereka punyai, mereka mampu menjadikan media-media yang ada sebagai media politik arus utama di dunia. Ada banyak contoh yang bisa kita simak. Misalnya ketika kemenangan George W. Bush yang kontroversial pada pemilu tahun 2000. Stasiun televisi Fox News, yang didirikan atas bantuan tokoh-tokoh partai Republik, partai dari mana George W. Bush berasal, berperan penting dalam kemenangan itu. Pada tahun 2004, direktur stasiun televisi ini secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada Bush. Sementara itu, terungkap juga bahwa ada perjanjian resmi antara CNN dan pemerintah Amerika Serikat, mengingat siaran CNN bisa ditangkap di seluruh penjuru dunia.(www.hidyatullah.com)


Dalam proses penyusunan konstruksi realitas, menurut Peter Berger & Luckamnn (Bungin,2001:12) telah terjadi dialektika antara individu yang menciptakan masyarakat dan masyarakat yang menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui Eksternalisasi, Obyektifikasi, dan Internalisasi. Dialektika tersebut akan terus saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini antara media massa, realitas sosial dan realitas sosial bentukan media. Sehingga melalui berbagai produk media seperti informasi dan acara munculah realitas sosial baru sebagai hasil dialektika mengikuti realitas yang disampaikan oleh media.

Redaksi media massa turut menyumbangkan produk sosial hasil rekonstruksi realitas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Citra teroris buatan media sebagai produk sosial terus berinteraksi dengan masyarakat melalui pemberitaan, siaran-siaran televisi, siaran radio dan media cetak. Dalam tahapan ini eksternalisasi terjadi, hingga masyarakat menerima. Seiring interaksi yang terjadi citra teroris ini menjadi penting karena individu melakukan penyesuaian diri. Seakan produk yang diproduksi media tersebut menjadi bagian dari dunia sosiokultural yang diproduksi manusia.


Dalam proses obyektivikasi, produk sosial ini berlangsung bertahap dan dalam jangka waktu yang lama. Manusia mulai melakukan signifikasi (pemberian nilai) terhadap informasi pemberitaan yang dibuat oleh redaksi media. Redaksi media dalam setiap pemberitaanya melakukan proses pencitraan menandai sebuah produk dengan citra tertentu seperti citra teroris dengan orang arab, orang arab dan fundamentalisme beragama, Islam dan kekerasan. Proses transaksi nilai ini terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat.


Orang-orang bersorban dengan wajah marah menenteng senjata Ak-47 sambil memaki-maki Amerika hampir setiap hari terlihat di madia-media massa internasional. Simbol-simbol agama dalam bendera-bendera yang dibawa pria arab sekaligus membawa bom sudah menjadi santapan sehari-hari audiens. Dalam tayangan pemberitaan tersebut redaksi pemberitaan media memberikan kesubyektivitasnya dalam melihat realitas sosial yang ada.


Proses pemberitaan yang mengarah ke arah pembodohan dan ketebelakangan umum ini tidak lain dan tidak bukan adalah hasil reproduksi realitas yang ada dalam dunia sosiokultural masyarakat. Pada tahap ini, terjadi kembali pemahaman dan penafsiran langsung terhadap pemberitaan media massa, sebagai pengungkapan makna oleh individu. Proses reproduksi sosial dalam pemberitaan, seperti yang diuraikan adalah gambaran bagaimana internalisasi nilai terjadi dalam pemberitaan oleh media.


Seperti ditegaskan Berger dan Luckmann (1966), kenyataan sosial merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri, dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, masa kini, dan masa depan. Realitas diproduksi, direkayasa secara intensif sehingga menghasilkan pandangan seolah-olah merupakan hal yang biasa saja.


Berkaitan dengan terorisme —sering kali tanpa kita sadari— ada sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang bertujuan mendistorsi realitas. Hasil distorsi realitas ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat sehingga menjadi sebuah common sense, dapat diterima dengan akal sehat. Konstruksi sosial tersebut berupa konotasi bahwa istilah teroris itu —diarahkan sedemikian rupa sehingga— hanya menunjuk pada “sekelompok orang” yang mengintimidasi pemerintah dengan cara kekerasan. (www.pikiran-rakyat.com)


Gigih Pribadi
Tugas Matkul Soskomku/2005



Cinta



Seperti cinta ketika semua rasa diterjemah tanpa paksa
Seperti cinta saat gugusan waktu hadir atas-Nya penuh warna
Seperti cinta untuk ayat yang hambur berkali-kali hingga gemetar isi hati
Seperti cinta saat materi tak sangat penting didefinisi
Seperti cinta yang membuatku begitu dipahami


Harus berpuluh-puluh bayang bertutur tanpa ragu
Harus berkali-kali tertangkap isyaratkn
Harus merenung, ku tergenggam, tanpa suara
Jarak memasung sadar diri


Gigih Pribadi

AHL AL-KITAB/ dr quraishi shihab

Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an tentang suatu masalah tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah, asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi (As-Sunnah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh pakar-pakar Al-Qur'an dengan istilah pendekatan "tematis" (maudhu'i).




Bahasan ini mencoba menerapkan metode tersebut, walaupun dalam bentuk yang terbatas - karena penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten dalam bidang Al-Qur'an.




ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN




Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah ketelitian redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.




Selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah lainnya. Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali,dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali Kesan umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka.




Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah [5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan sebagainya.




Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa merekatekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62). Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian, misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka.




Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dankelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu. Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan Nashara hatta tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani.




Menurut pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuatdari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang. Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju. Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan: "Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar diikuti millat mereka.




Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh) persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)." Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah: Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyiteksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul) mengikuti agama/tatacara mereka.




Maka ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan (firman-Nya): "hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40) dan (firman-Nya), "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun [109]: 2-3). Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentuketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam.




Pengertian tersebut sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10: "Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman." Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam. Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu ditegaskan, karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan orang lain cenderung enggan menganut agamanya.




Di sisi lain, seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke kiblat mereka.




Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata "lan" untuk orang Yahudi. Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Al-Qur'an tentang mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka - positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh kaum Muslim terhadap mereka.




SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB




Al-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77 mengisyaratkan bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem. "Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu, dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS Al-Nisa, [4]: 171).



Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabianMuhammad saw). "Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).




Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada mereka: Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apayang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).




Bahkan Allah Swt. secara langsung dan berkali-kali mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat menyimpan rahasia. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadipemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orany-orang yang zalim" (QSAl-Ma-idah [5]: 51). Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan alasan bahwa:"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkankamu.




Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]: 118). Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda, "Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran" (HR Muslim melalui Abu Hurairah).




Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin Malik, berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim) Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak jugayang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat dalam hal ini.



Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,"Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Al-Anfal [8]: 61). Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab siapa pun mereka, walau Yahudi - tetap dituntut oleh Al-Qur'an. Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw. pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak bersalah - karena bersangka baik terhadap keluarga kaum Muslim yang menuduhnya.




Sikap Nabi tersebut ditegur oleh Allah dengan menurunkan surat An-Nisa, [4]: 105."Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antar manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat."




APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?




Di atas telah dipaparkan sebagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua Ahl Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?" Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah [5]: 59 di atas menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab),perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini.




Hemat penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa tidak semua mereka bersikap demikian. Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak dalam dua ayat berikut: "Banyak dari Ahl Al-Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" (QS Al-Baqarah [2]: 109).




Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir yang seharusnya diterjemahkan banyak, bukan kebanyakan sebagaimana dalam Al-Qur'an dan Terjemahannya oleh Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya: "Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran [3]:69) Kalau melihat redaksi ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka tidak semua mereka bersikap sama.




Sejalan dengan ini, ada peringatan yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan: "Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sekelompok dari Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu beriman" (QS Ali 'Imran [3]: 100). Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Al-Qur'an yang menyatakan bahwa, "Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud" (QS Ali 'Imran [3]: 113) .




Sebelumnya dalam surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan informasi, "Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada juga yang jika kamu percayakan kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang demikian itu karena mereka berkata (berkeyakinan) bahwa tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran [3]: 75). Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati sebagian Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa: "Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah belah" (QS Al-Hasyr [59]: 14).




BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB




Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena itu sikap yang diajarkan Al-Qur'an terhadap mereka pun berbeda, sesuai dengan sikap mereka. Dalam sekian banyak ayat yang menggunakan istilah AhlAl-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat, walaupun di sana-sini Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan dalam keyakinan. Perhatikan firman Allah berikut ini: "Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap orang-orang yang zalim di antara mereka" (QS Al-'Ankabut [29]: 46).




Dalam beberapa kitab tafsir - seperti juga pada catatan kaki Al-Qur'an dan Terjemahnya Departemen Agama - dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di atas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan baik, masih tetap membantah, membangkang, dan menyatakan permusuhan.



Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat sawa' (kata sepakat), dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini Al-Qur'an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw., "Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah.




Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)" (QS Ali 'Imran [3]: 64). Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa: "Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran [3]: 199).




Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Al-Qurthubi dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa ketika turun firman Allah: "Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad saw.) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 146). Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?" Abdullah menjawab, "Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan ibunya."




AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN




Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Al-Qur'an perlu kiranya kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. Sepuluh tahun lamanya beliau melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah sendiri penganut \agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika itu adalah orang orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Al-Qur'an sebagai al-musyrikun.




Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap kaum Muslim, memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah pertama ke Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus, penguasa yang beragama Nasrani. Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi yang memiliki kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi perselisihan dan permusuhan antara mereka dengan orang Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu melelahkan semua pihak; sayang tidak ada di antara mereka yang memiliki wibawa yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai ini.




Orang-orang Yahudi sering mengemukakan kepada Aus dan Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi (dari kelompok mereka), dan bila ia datang pastilah kaum Yahudi akan mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini Al-Qur'an menyatakan - menyangkut orang Yahudi - bahwa, "Setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dan Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu" (QS Al-Baqarah [2]: 89). Yang dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka" adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal ini Nabi Muhammad saw.




Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka biasa memohon" adalah bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan ArabGathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka ketika itu orang-orang Yahudi berdoa, "Kami bermohon kepada-Mu demi Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami di akhir zaman, menangkanlah kami atas mereka" sehingga mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.




Al-Qur'an juga menginformasikan bahwa keengganan mereka beriman disebabkan oleh karena "kedengkian dan iri hati mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 109). Tadinya mereka menduga bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari golongan Arab yang merupakan seteru mereka. Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir tidak ada di kota Makkah. Itu pula sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat diajukan kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian kenabiannya. Ketika itu orang-orang Yahudi Madinah\ menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah yang melatar belakangi turunnya firman Allah: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85).




Kehadiran Nabi Muhammad saw. ke Madinah, disambut baik oleh Aus dan Khazraj bukan saja sebagai pemersatu mereka yang selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian, tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui kehadirannya melalui orang-orang Yahudi. Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka juga dKembali kepada persoalan di atas, ditemukan bahwa ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS Ali Imran [3]: 113).




Itu pula sebabnya, dalam hal-hal yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Al-Qur'an tidak jarang memberi penjelasan tambahan yang berkaitan dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya. Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya), sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan mereka, Al-Qur'an mengemukakannya tanpa penjelasan atau syarat.




MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?




Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan karena sejak semula ada perbedaan sikap di antara kedua kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas).




Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih, dan Al-Qur'an turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawiakan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira: "Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang" (QS Al-Rum [30]: 1-5).




Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim. Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar jika secara tegas Al-Qur'an menyatakan: "Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani" (QS Al-Ma-idah [5]: 82).




Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasaldari golongan mereka (QS Al-Baqarah [2]: 109). Kehadiran Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan masyarakat Madinah menciut, dan bahkan menghilangkan pengaruh politik dan kepentingan ekonomi mereka.




Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an di atas, sebab kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah: "Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)




Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para rahib yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah), berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya.




Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah, sehingga tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan benturan antara kaum Muslim dengan mereka. Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualis- tis.



Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya benturan, bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus diakui bahwa kepentingan tersebut dapat dikemas dengan kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.




Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya' (pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam surat Ali-'Imran [3]: 118: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."




Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi saw., sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim." Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari - yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.




Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan, "(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya."Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu. Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.




Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha berkomentar: "Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya).{1}"




Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam Al-Qur'an: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS Ali Imran [3]: 1 18)




Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan seorang Muslim. "Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.




Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah swt. yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudiandari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi." {2}




Dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepadasiapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.{3}




Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:




"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua.{4}" Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.




"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia. dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa." Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.




SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?




Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.




Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.



imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu). Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab.




Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapatdiduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi) .




Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.{6}




Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hokum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka). Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat- riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagai berikut:




"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang.{8}"




Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa: "Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar.{9}"




Penulis cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun dan dari keturuunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Al-Qur'an, "(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).




Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.




Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: "tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku pula terhadap mereka.




Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal yakni sahabat Nabi yang mendengar atau menerima hadis tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan.




Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain. Beliau secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan, "Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah." Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah, demikian pula para pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:




1. Dalam sekian banyak ayat, Al-Qur'an menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan." "Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu. (QS Al-Baqarah [2]: 105).




Kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6. Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Al-Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah.




2. Al-Qur'an sendiri telah menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas, Al-Qur'an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.




Al-Qur'an seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.




Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur'an.




Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalinapabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.




Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati - untuk dibubarkan.




Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:


1. Sikap Al-Qur'an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.




2. Kecaman yang terdapat dalam Al-Qur'an, lebih banyak tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.




3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.




4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari - istimewa menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil sembelihan mereka - diperselisihkan oleh para ulama.




Dengan kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat dinilai sebagai sikap terpuji. Demikian sekelumit uraian Al-Qur'an tentang Ahl Al-Kitab.




[] Catatan kaki: {6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkanQS Al-Maidah [5]: 5.{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.{9} Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.

Membangun Nalar Komunikatif- Dialogis



Penulis adalah intelektual asal Suriah yang kini menetap di Perancis. Ia menerjemahkan hampir semua karya Mohammed Arkoun ke dalam bahasa Arab. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 3 Thn. IV/27 Juli 1998 - Rabiul Akhir 1419 H. Tulisan ini pernah dimuat di dalam harian Asharq al-Awsat edisi 10 Juli 1998.


Upaya melahirkan sosok Islam modern yang selalu kita dambakan memang bukan perkara gampang. Setumpuk persoalan dan rintangan memerlukan solusi yang tidak mudah. Kita terpaksa harus berhadapan dengan buntunya saluran komunikasi. Bayangkanlah, bagaimana susahnya kita membangun nalar komunikatif-dialogis, seperti gagasan filsuf Jerman, Jurgen Habermas, di tengah-tengah komunitas Muslim dewasa ini.


Kita juga mesti mencairkan kevakuman internal sejarah bangsa kita sendiri. Kita harus "membersihkannya" secara total.


Demikian pula dengan tradisi budaya masa lalu. Udara segar harus ditiupkan supaya tradisi tersebut dapat menjadi motor penggerak emansipasi, bukan faktor penghambat yang melumpuhkan seluruh energi kreatif bangsa. Sebab, sejak produksi intelektual kita mandek --menyusul habisnya "masa bakti" filsuf-filsuf besar, seperti Ibnu Rushd dan Ibnu Khaldun-- praktis semuanya jadi kelam.


Ruang berpikir kita semakin menyempit. Apa yang "mungkin" kita bicarakan kini menjadi "mustahil". Alhasil, kita jadi takut terhadap diri kita sendiri. Jangan-jangan zaman kegelapan ini tak akan berujung. Dan pada akhirnya, yang dominan adalah Islam fatalistik dan budaya repetisi skolastik yang sangat menjemukan. Sementara Islam yang "mencerahkan", dialogis, dan rasional tersisihkan.


Sekarang ini, kita ibarat sedang sakit. Penyebabnya adalah tradisi kita sendiri. Begitu pula sebaliknya, tradisi itu sedang menderita karena "kitat". Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? Tak ada jalan lain, kecuali melakukan "pembedahan". Sebab, obat penenang saja tak akan memadai.


Saya berpendapat, ada dua metode untuk melakukan pembedahan ini: pertama, metode dekonstruksi. Dan kedua, eksplorasi arkeologis. Keduanya saling berkaitan.
Kata "dekonstruksi" yang diperkenalkan filsuf post-modernis, Jaques Derrida, kerap disalahartikan. Dekonstruksi tak selalu berkonotasi negatif, seperti destruksi atau penghancuran.


Dalam tradisi strukturalisme, pengertian dekonstruksi mengacu pada suatu proses "pemeretelan" sebuah instrumen atau struktur menjadi unit-unit dasar. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana konstruksinya pertama kali. "Operasi" ini pada gilirannya bermaksud membebaskan proses tadi dari suatu "muatan" tertentu. Juga, menghapus kesan aksiomatik yang sengaja diciptakan struktur itu buat dirinya; seakan-akan ia tak pernah terkonstruksi.
Ini berlaku pada semua hal, termasuk konsep-konsep masa lalu atau narasi-narasi besar yang telah menghantui kita lewat tradisi. Kita dibuat yakin bahwa semua itu akan tetap "begini" sepanjang waktu, seakan tak kenal perubahan.


Konsep-konsep seperti iman, akal, Tuhan, manusia dan ahlul-kitab, harus diterima apa adanya. Padahal, konsep iman dewasa ini berbeda sama sekali dengan yang pernah berlaku pada abad pertengahan. Iman yang sekarang itu lahir setelah kita mendekonstruksi iman lama.
Begitu juga konsep akal. Makna akal dalam wacana Qur'ani berbeda dengan yang mendominasi pemikiran era klasik menyusul persentuhan Islam dengan filsafat dan logika Yunani.
Lewat dekonstruksi, kita bisa melacak akal konsep-konsep tadi. Kita akan menyibak historisitasnya, konstruksi awalnya, serta persentuhannya dengan realitas. Dan, pada puncaknya, kita akan menjalin relasi baru serta bebas dengan tradisi.


Sementara eksplorasi arkeologis dapat ditelusuri jejaknya dalam pemikiran Michel Foucault, teoritisi andal asal Perancis. Melalui eksplorasi ini, kita akan sampai pada saat-saat dekonstruksi terjadi. Tanpa pelacakan arche-arche awal, sulit rasanya pembongkaran itu berlangsung.
Fungsi utama metode ini adalah membantu kita untuk mengungkap momen-momen awal terbentuknya diskursus-diskursus dalam Islam.


Sejatinya, pelacakan arkeologis mirip dengan psikoanalisanya Sigmund Freud. Psikoanalisa berusaha melacak trauma-trauma masa kecil seorang pasien untuk membebaskannya (katarsis) dari gangguan-gangguan psikologis masa kini.


Demikian juga dengan eksplorasi arkeologis. Ia melacak relung-relung terdalam tradisi untuk menguak dan menyoroti proses awal konstruksinya. Tujuannya, agar membebaskan kita dari gambaran mitologis dan teologis tentang tradisi itu. Serta, membekali kita dengan perspektif historis yang nyata.


Metode ini telah diterapkan dengan gemilang oleh seorang profesor studi keislaman asal Jerman, Joseph van Est. Ia melacak dengan cermat momen-momen awal Islam. Targetnya, mengungkap korelasi yang erat antara teologi dan proses sosial. Juga implikasi antara aliran-aliran teologis dan konflik-konflik sosial yang terjadi kala itu.


Apa yang saya paparkan bermuara dari sebuah pertanyaan sederhana: Islam yang bagaimana yang kita idamkan? Pertanyaan itu sendiri muncul akibat beragamnya visi dan corak pemahaman tentang Islam.


Keragaman ini dipicu oleh fakta bahwa kebenaran bukan milik satu pihak tertentu. Kebenaran itu bersatu di antara kita. Kebenaran lahir dari rahim ide-ide yang saling bertarung, dan gagasan-gagasan yang saling berbenturan. Dan, hanya nalar komunikatif dialogislah yang menjamin terwujudnya itu semua.


From: Mohamad Zaki Hussein

PEMBEBASAN JERUSALEM



Suatu siang di musim panas, 2 Oktober 1187 M, Kota Jerusalem telah dikepung dari segenap penjuru kota. Segala sisi kota telah dipenuhi oleh 10.000 tentara. Tidak ada satupun celah yang bisa dipakai meloloskan diri dari kepungan ini. Tembok benteng kota yang tinggi menjulang merupakan halangan tak tertembus oleh penduduk untuk lolos dari kepungan. Sementara di luar pintu-pintu gerbang pun telah terkepung rapat. Beberapa Mangonel(pelontar batu-batu besar dan tombak yang ditujukan untuk menghancurkan barikade dan tembok benteng) telah berjajar menghadap tembok kota. Dinding benteng sebelah utara perlahan berderak roboh oleh panasnya api yang disulut pasukan khusus. Dengan sekali teriakan tentara padang pasir itu pasti akan menyerbu dengan gegap gempita.


Apa yang dirasakan 60.000 penduduk dalam kota Jerusalem? Mereka dalam ketakutan yang luar biasa. Mereka tidak mempunyai tentara. Yang ada hanya wanita dan anak-anak yang jumlahnya 50 kali lipat kaum pria, itupun hanya beberapa yang pernah memegang senjata. Perlawanan hanya dipimpin oleh seorang bernama Balian of Ibelin, yang dengan 500 ksatria lainnya pun tak bisa mengalahkan musuh di lembah Hattin. Dapatkah kota ini dipertahankan?

Saat ini adalah abad pertengahan. Abad kegelapan Eropa. Peperangan dan perebutan kekuasaan ada di mana-mana. Setiap perbuatan, dari perang sampai perkawinan adalah manuver bagi kekuasaan. Sesuatu yang diwariskan kepada kita hingga sekarang. Yang menang merampas, membunuh dan menghancurkan dengan terang-terangan atau berkedok. Yang kalah dijual, dibunuh atau dihancurkan."Mari kesini anak-anakku," Ditengah ketakutan itu, para wanita di Jerusalem segera memanggil anak-anak gadis mereka.


Lalu diambillah oleh mereka gunting dan dicukurnya rambut gadis-gadis itu, pendek atau gundul. Baju laki-laki dikenakan dan badan dibalut dengan lumpur dan kotoran. Mudah-mudahan mereka tidak menarik perhatian para tentara.


Bayangan kengerian hadir dipelupuk mata. Balas dendam apa yang akan mereka terima? Terbayang bagaimana seabad lalu mereka datang dari Eropa dan menaklukan kota setelah membantai puluhan ribu tentara, penduduk dan anak-anak. Memperkosa gadis-gadis dan merampas semua harta. Mengusir siapa yang berbeda asal atau berbeda agama.
"Kill one, you are a murderer, kill a million, conquerer," demikian sebuah pepatah modern mengatakan.


Namun tidak demikian perasaan 5.000 tawanan muslim dan ribuan Yahudi dalam kota. Demikian pula halnya dengan ribuan Kristen Ortodok Timur. Mereka justru menyambut kepungan dengan suka cita karena selama ini mereka selalu menderita dan disingkirkan dari gereja-gereja oleh oleh penguasa Kristen Latin yang disebut kaum Frank. Mereka tahu ini para pengepung adalah tentara akan membuka gerbang kebebasan. Mereka tahu itu, karena yang mengepung tak lain dari pasukan Syria di bawah komando Salahuddin bin Jusuf, pahlawan Perang Hattin, pemersatu tentara Islam di kawasan Syria dan Mesir.


Seorang pemimpin welas asih yang jujur dan bisa dipegang keadilan dan kata-katanya. Atas kemurahan hatinyalah pula Balian of Ibelin diijinkan menembus barikade dan masuk ke Jerusalem untuk mengungsikan keluarganya."Engkau hanya akan berada di Jerusalem selama satu malam dan Engkau tidak akan mengangkat senjata melawan kami", demikian syarat yang diajukan Salahuddin.

Akan tetapi ketika di Jerusalem, dia justru didaulat untuk memimpin pasukan, karena hanya dialah pemimpin sisa perang Hatin yang ada. Balian menjadi bimbang. Bagaimana sumpahnya kepada Salahuddin? Namun ia tahu, pimpinan macam apa Salahuddin itu. Dikemukananlah dilemanya kepada Salahudin, musuhnya. Bagi Salahuddin ini adalah peperangan yang berdasar keyakinan. Masing-masing pihak berperang dengan semangat roh agamanya masing-masing. Maka dengan kemurahannya sekali lagi, ia bebaskan Balian dari sumpahnya. Malah ia ungsikan Quen Maria, istri Balian, dan Thomas anaknya dari Jerusalem dengan terlebih dahulu mengundang mereka makan di tenda lalu diberi berbagai hadiah dan diantarkan hingga kota Tripoli.


Bagian 2. Pembebasan
Peristiwa berikutnya adalah salah satu tonggak dalam sejarah yang tidak gampang mencari bandingannya. Setelah dikepung selama 2 minggu, tembok kota runtuh. Balian tahu, mereka tak mungkin lagi melawan. Jerusalem pun menyerah. Tentara Islam memasuki Jerusalem tanpa perlawanan, melalui sebelah utara kota, dimana sebuah salib besar dipancangkan oleh agresor seabad yang lalu, ketika mereka memasuki Jerusalem.


Dengan kebiasaan hukum perang waktu itu, sebenarnya Salahuddin berhak memasuki kota dengan status menaklukkan, bukan penyerahan. Tak terkirakan besarnya keuntungan politik yang akan diraih Salahuddin apabila ia memasuki kota dengan kekuatan dan penghancuran. Karena dengan demikian ia dan tentaranya berhak atas seluruh penduduk kota dan harta kekayaannya.


Tapi menaklukan tidak berarti membunuh dan menjarah. Perang ini dilakukan atas nama agama, karenanyapun harus membawa nilai kedamaian yang diajarkan. Ia menerima kekalahan musuhnya dengan status menyerah. Apa ini artinya? Ia tak punya hak menguasai harta, selain dengan apa yang telah tertuang dalam perjanjian. Kekayaan kota yang ratusan ribu dinar pun harus melayang.


Musuh diberi kesempatan 40 hari untuk meninggalkan kota dengan segala harta bendanya setelah membayar uang tebusan, laki-laki 10 dinar, wanita 5 dinar dan anak-anak 1 dinar. Gadis-gadis yang telah bercukur pun bebas meninggalkan kota tanpa diganggu, bahkan dikawal sampai tempat tujuan. Orang-orang kaya dipersilakan membawa hartanya masing-masing. Mereka yang miskin dibebaskan tanpa bayaran. Yang ingin tinggal tidak ada halangan, walaupun beda kepercayaan. Tak heranlah jika Kristen Ortodok dan golongan Yahudi menyambut penaklukan Jerusalem kali ini dengan suka cita.


Patut kita kenang sebuah fenomena unik di jaman kegelapan ini. Unik karena di tengah kultur abad pertengahan, yang seperti ini tidaklah wajar. Unik karena dicatat dengan manis dalam sejarah tidak saja oleh sejarawan Islam, tapi sejarah Eropa dan Kristiani. Betapa besar pengampunan dan kedermawanan Salahudin kepada kawan sendiri maupun lawan, kepada rakyat maupun penguasanya. Ketika setelah 40 hari lewat, ternyata masih banyak yang belum bisa membayar tebusan, maka dibebaskanlah puluhan ribu mereka yang mampu. Siapa lagi yang akan membebaskan mereka yang tak berdaya selain dari penguasa?


Sungguh berlawanan sekali dengan sifat para agressor dan penguasa lama yang hanya mengurusi hartanya sendiri bahkan menindas bangsanya sendiri. Ketika tiba saat yang genting, yang terpikir adalah harta sendiri. Wajar, tapi tak benar. Heraclius, misalnya, sebagai pemimpin gereja Jerusalem, mengungsi setelah membayar tebusan 15 dinar untuk diri dan istrinya. Ia penuhi keretanya dengan emas, perak dan segala harta bendanya, termasuk apa yang diambilnya dari gereja Al-Qiyama. Semantara itu kaum papa yang tak mampu membayar, ditinggal di belakangnya dalam kebingungan.


Melihat tingkah Heraclius ini para panglimanya meminta Salahuddin untuk bertindak. Namun Salahuddin hanya berkomentar: "Aku lebih senang melihat mereka mematuhi perjanjian, sehingga mereka tidak menuduh Muslim melanggar janjinya, tetapi akan memberitahukan kepada yang lain akan kehormatan kita."


Penaklukan seringkali yang diiringi dengan tragedi. Tetapi penaklukan Jerusalem 2 Oktober 1187 (bertepatan dengan tanggal 27 Rajab) oleh Salahudin adalah pembebasan dan pengampunan kepada musuh-musuhnya. Sebuah barang langka baik di masa abad kegelapan maupun jaman sekarang. Siapa yang begitu bermurah hati mengampuni musuh yang telah menghancurkan, mengusir dan membunuhi puluhan ribu rakyat tak berdosa. Siapa yang akan membiarkan musuh mengungsi membawa ratusan ribu dinar di depan hidung kita? Siapa yang mempunyai rasa ma'af melebihi nafsu amarahnya?


Salahudin hanya ingin masuk ke Jerusalem mengikuti ajaran pembawa Islam SAW yang juga memasuki kota suci ini dalam Isra' Mi'raj-nya ratusan tahun sebelumnya. Mereka yang memasuki Jerusalem dengan pengampunan akan dicatat dengan tinta emas dan mereka yang welas asih akan dido'akan.


Sebenarnya masih banyak lagi catatan indah Salahuddin. Namun rasanya cukuplah dulu kali ini, karena seandainya sikap seperti itu hidup di jaman kini, cukuplah bumi ini damai dibuatnya.



Troy NY, May 13, 2000;Pungkas Ali

MANIFESTASI KONSUMERISME DALAM IDENTITAS INDIVIDU*



Jika kita berbicara mengenai permasalahan budaya konsumen/konsep konsumerisme secara langsung kita juga berbicara mengenai sebuah prilaku manusia dan sebuah gaya hidup zaman posmodern. Di zaman yang terus mengalami perubahan sosial guna mencari bentuk ini, ternyata tidak hanya menjadi zamannya Eropa ataupun Amerika saja yang menjadi asalnya-muasalnya atau yang biasa kita sebut sebagai Barat. Akan tetapi dengan berkembangnya teknologi komunikasi fenomena ini menjadi suatu hal yang Universal di Indonesia.


Salah satu perubahan sosial yang terjadi adalah perubahan mendasar pada gaya hidup masyarakat berdasarkan relasi konsumsi. Di dalam perubahan ini, peristiwa konsumsi tidak lagi dapat ditafsirkan sebagai suatu peristiwa dimana masyarakat mengkonsumsi suatu barang ataupun objek berdasarkan nilai gunanya/utilities dalam pemenuhan kebutuhan manusia saja, akan tetapi berkaitan juga dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu. Menurut Yasraf, Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural sosial dalam masyarakat. Yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya (Yasraf, 2004:179).


Budaya sendiri merupakan sebuah kata pungut dari bahasa Sansekerta; buddhaya, yang berdasarkan kepada kata bud yang kita kenal pula sebagai kata budi dalam bahasa Indonesia. Menurut Andreas Eppink, culture atau kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kata budaya bisa berarti: pikiran, akal budi, konsep adat istiadat segala sesuatu ungkapan manusia sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah seni, kultur, pakaian.


Lahirnya budaya Konsumen/Konsumerisme tidak dapat dipisahkan dari semakin berkembangnya kapitalisme awal menjadi advance capitalism/kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Terutama pada masyarakat Indonesia hal ini dapat kita lihat dari tinjauan historis semenjak berkuasanya ordebaru dimana investasi besar-besaran masuk dan kapitalisme awal mendapatkan tempat sampai perkembangannya kini. Apapun dapat menjadi komoditas merupakan slogan dari advance capitalism ditambah dengan dukungan media massa yang mampu menginternalisasikan nilai dalam masyarakat, semakin menguatkan budaya-budaya baru yang ada termasuk budaya konsumen. Sehingga dalam masyarakat konsumer, setidak-tidaknya terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek estetik, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser, serta kekuasaan media massa. (ibid : 180).


Konsumsi sebagai suatu proses menghabiskan atau mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan di dalam sebuah objek, berbagai macam pengaruhnya telah dikaji dan menjadi diskursus dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan analisis. Menurut sosiolog scheler konsumsi dapat dipandang sebagai kenyataan sosial yang dibangun melalui proses dialektika; eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Dalam proses ini terdapat penciptaan nilai-nilai melalui objek-objek artefak untuk kemudian mengakui dan menerimanya kembali. Dari sudut pandang linguistik, konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek olah para konsumer dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal ini, objek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakaiannya.


Lebih menarik dalam berbagai analisisnya, para ilmuwan sosial memberikan korelasi yang kuat adanya pengaruh antara budaya konsumen dan makna-makna sosial atau identitas-identitas individu. Seperti dialektika scheler, rupanya diambil dari istilah yang digunakan oleh Daniel Miller di dalam material culture and mass consumption, dalam menjelaskan konsep Hegel tentang hubungan dialektik antara subjek dan objek.


Menurut Miller, dalam proses objektifikasi ini melibatkan hubungan antara subjek dalam hal ini manusia, kebudayaan sebagai bentuk eksternal, dan artefak sebagai objek ciptaan manusia. Dalam konsep ini subjek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaaan objek-objek ataupun artefak yang dimaksudkan mampu memberikan diferensiasi dengan objek-objek yang ada sebelumnya. Kemudian menginternalisasikanya kembali (mengembalikan pada diri), nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi atau pemberian pengakuan. Akan tetapi subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaanya sendiri, karena ia membandingkan hasil ciptaannya dengan pengetahuan dan nilai yang absolut yang justru beranjak semakin jauh tatkala diacu sehingga yang muncul dalam diri subjek adalah rasa ketidakpuasan tanpa akhir.


Akan tetapi menurut Marx, karena Marx sendiri menghubungkan objektifikasi dengan relasi produksi. Bagi Marx subjek tidaklah mampu mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan artefak secara merdeka. Hal tersebut dikarenakan dirinya sendiri merupakan komoditi, yang diperjualbelikan tenaganya baik fisik maupun intelektual sama seperti objek yang diproduksinya. Di dalam relasi produksi semacam ini Marx melihat satu proses yang disebut penceraian (estrangement), yakni penceraian subjek (pekerja) dari hasil kerjanya. Akan tetapi seiring berkembangnya teknologi produksi yang menifestasinya berupa automatisasi dan komputerisasi, peran pekerja dapat diminamalisasi sedemikian rupa bahkan hampir dihilangkan sehingga penceraian yang dimaksudkan oleh Marx kian kehilangan makna. Kalaupun ada penceraian antara subjek dan objeknya, subjek tidak akan ambil pusing karena kini setelah orang lelah bekerja, orang dapat menghanyutkan diri dalam dalam ekstasi konsumsi seperti hiburan dan tontonan dalam ekstasi konsumerisme.


Di dalam masyarakat konsumer relasi antara subjek dan objek berkembang semakin kompleks. Kini subjek tidak harus melakukan penciptaan untuk mengeksternalisasikan baru kemudian menginternalisasi dirinya, akan tetapi hanya dengan mengkonsumsi kini subjek dapat sekaligus menginternalisasi dan mengeksternalisasi dirinya. Secara kasar boleh dikatakan kini mesyarakat konsumer hanya dapat dipandang dalam relasi konsumsi semata (consumer par-excellence). Karenanya pernyataan filosof Cartesian yang mengatakan -Aku berpikir, karenanya Aku ada- kini semakin kehilangan makna berganti –Aku mengkonsumsi, karenanya Aku ada- karena dalam realitas sosial, subjek menginternalisasikan nilai-nilai sosial,budaya dan objek-objek melalui tindakan konsumsi.


Dalam analisa bahasa dan pertandaan/semiotica konsumsi disini menjadi sebuah fenomena bahasa dan pertandaan, dan masuk dalam bahasan semiotika. Ketika kita mengkonsumsi objek-objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, akan tetapi juga untuk mengkomunikasikan /merepresentasikan /menandai /mengirim pesan. Dalam kenyataanya, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri melalui barang yang mereka miliki.
Mereka menemukan jiwanya pada mobil yang mereka miliki, perabot rumah mewah, dan barang- barang konsumtif lainnya seperti kita menggunakan perhiasan mahal untuk menandai kekayaan dan status sosial kita. Mekanisme pernyataan posisi seseorang di tengah masyarakat yang berubah dan berada dalam pengendalian sosial, kini terletak pada kebutuhan baru secara konsumtif (Burhan, 2001:24). Menurut Baudrillard, di dalam pola konsumsi yang dilandasi oleh nilai citra atau tanda daripada nilai guna atau utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika needs (need) melainkan hasrat (desire).
Bila kebutuhan dapat dipenuhi setidak-tidaknya secara parsial melalui objek-objek, hasrat sebaliknya tidak akan pernah terpenuhi, karena satu-satunya objek yang dapat memenuhi hasrat yang diproduksi oleh mesin hasrat adalah objek hasrat (seksual) yang berada dalam alam bawah sadar dan ini telah menghilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari subtitusinya-subtitusinya melalui dunia objek atau simbol-simbol yang dikonsumsi. Itulah istilah logika yang dipakai untuk menjelaskan reproduksi perasaan kekurangan (lack) dalam setiap manusia.


Dengan berkembangnya logika hasrat dalam manusia, akhirnya memacu kapitalisme mutakhir untuk terus memproduksi simbol-simbol dan tanda-tanda dengan cepat dan massal. Akibatnya dari objek-objek konsumsi yang mengalir tak putus-putusnya dalam kecepatan tinggi di dalam arena konsumerisme tidak pernah dan tidak akan pernah mampu untuk memenuhi memenuhi kebutuhan konsumers. Seperti halnya hasrat tidak akan terpenuhi oleh objek hasrat selamanya. Hal tersebut turut merubah identitas-identitas individu akan simbol-simbol dan citra dirinya. Bahkan dalam masyarakat konsumer muncul istilah yang mencerminkan realitas sosial yang ada yaitu ”Aku berganti, Karenanya aku ada”.


Hal itulah yang disebut sebagai skizorfenia yaitu proses pergantian identitas-identitsas dalam waktu yang singkat dan instan di tengah rimba tanda dan citra. Sehingga kini bukan lagi konsumen yang menguasai objek akan tetapi konsumen ikut dalam irama putaran objek yang tiada habisnya.


Dalam budaya konsumerisme, konsumsi tidak lagi diartikan scara harfiah hanya sebagai satu lalu lintas kebudayaan benda seperti halnya jual beli barang, dalam pemahaman konsumsi yang konvesional, akan tetapi menjadi panggung sosial, yang didalamnya terjadi perang posisi di antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Budaya konsumerisme yang berkembang merupakan satu arena dimana produk-produk konsumer merupakan satu medium untuk pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Barang-barang konsumer pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat para konsumer pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat para konsumer menemukan makna kehidupan.


Konsumsi membentuk semacam totalitas objek-objek dan pesan-pesan yang dibangun di dalam sebuah wacana yang saling berkaitan. Konsumsi, sejauh ia mengandung suatu makna tertentu, merupakan satu tindakan pengguanaan simbol secara sistematis untuk menandai posisi sosial tertentu (Yasraf. 2004:189).


*Gigih Pribadi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Universitas Diponegoro



DAFTAR PUSTAKA
Piliang, Yasraf Amir .1999. Hiperrealitas Kebudayaan.Yogyakarta: Lkis.
_______________, .2004.Dunia yang Dilipat; Tamasya melampui batas-batas
Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra.
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta : Jendela.
Turner, Bryan. 2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernnitas.Yogyakarta: Panta Rhei Books.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
William L Rivers,et.al. 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media.

Kamis, 06 Desember 2007

Media dan Netralitas dalam Relasi Sosial


Media dalam kiprahnya di tengah masyarakat selalu dituntut untuk bersikap netral dalam sirkulasi politik dan kekuasaan. Akan tetapi pada kenyataanya, media tidak akan pernah mampu bersikap ‘netral’ dengan memisahkan diri dari realitas. Terlebih karena media tidak beraktivitas di ruang ‘hampa’ tanpa relasi sosial dan kekuasaan.

Justru sebaliknya, media yang mempunyai peran sebagai agen transformasi publik tidak sepatutnya untuk bersikap ‘netral’. Tetapi media harus selalu berpihak kepada kebenaran, kepentingan publik, dan menjamin berlangsungnya proses transformasi sosial dalam masyarakat.

Melihat tulisan media netral? Mungkinkah?, Di kampus Fisip Undip 5/11/07. Menimbulkan sedikit rasa ingin tahu penulis guna mengetahui peran terbaik media yang bisa diberikan kepada publik. Apalagi media kini tengah mempunyai peran yang cukup signifikan, semenjak Indonesia memasuki eraReformasi yang juga era Demokrasi pasca Orde Baru. Tidak hanya di kampus, masyarakat-pun juga banyak yang mulai mempertanyakan peran media di tengah relasi sosial dan sirkulasi politik.

Seperti contoh Metro Tv yang turut mengangkat popularitas SBY-JK di kampanye Pilpres 2004 hingga meraih kemenangannya. Hal ini diakui secara langsung oleh Don Bosco Selamun Pimred Metro Tv pada waktu itu. Tidak hanya itu, belum lama ini dalam Pilkada DKI secara terang-terangan Metro Tv mendukung Fauzi Bowo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tentunya kebijakan itu menimbulkan banyak protes dari masyarakat yang berbeda orientasi politik dengan yang didukung oleh Metro Tv. Belum lagi kebijakan Tempo dan Kompas menolak RUU-APP yang sempat menjadi kontroversi di tengah masyarakat, Atau kebijakan Republika dan Sabili dengan umat Islam, bahkan semua media di Indonesia banyak melakukan hal serupa.

Banyak yang mencerca banyak pula yang melegitimasi kebijakan redaksional pemberitaan pada sebuah media. Kontroversi ini terjadi dikarenakan kekuatan media yang luar biasa. Media kini menjadi alat bantu untuk melihat realitas di luar jangkauan individu, menjadi jembatan (correlation) untuk melihat rangkaian peristiwa, memberikan makna dan bahkan mampu untuk memberikan nilai kepada masyarakat seperti mana yang baik dan buruk.

Menurut Sosiolog Herbert J. Gans bahwa landasan berita adalah sebuah gambaran mengenai negara dan masyarakat sebagaimana yang dipikirkan media mengenai hal yang seharusnya. Dalam hal ini menurut Gans media dalam pemberitaannya mempunyai tanggung jawab terhadap nilai yang ada di tengah masyarakat. Media harus selalu menjaga berlangsungnya kearifan, kebenaran, dan mengelola perubahan sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama, yang nantinya menjadi nilai normatif di tangah masyarakat.

Untuk menjaga peran sebagai stabilisator dan pewarisan nilai inilah, media akan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Apakah akan turut menjadi pelaku dengan bertindak sebagai mobilisator perubahan, atau hanya menjadi penonton tanpa melakukan tindakan apapun. Tampaknya pilihan yang pertama menjadi pilihan yang paling masuk akal. Karena perubahan adalah susuatu yang akan berlangsung terus menerus. Media sebagai institusi sosial harus turut ikut serta dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat. Agar fungsi-fungsi media dapat berjalan dengan semestinya dibandingkan jika tidak melakukan apapun dengan hanya menjadi penonton, tentunya media akan ditinggalkan oleh khalayak.

Selanjutnya, media dalam aktivitasnya tidak dijalankan oleh mesin. Media mempunyai redaktur, reporter, editor dan lainnya. Tentunya sebagai manusia para awak media ini juga mempunyai worldview/cara pandang melihat dunia masing-masing. Baik itu secara individu atau telah disepakati bersama sebelumnya dalam pendirian media. Belum lagi relasi pasar, kepentingan dan ideologi yang banyak bermain dalam menentukan pemberitaan.

Akibatnya realitas yang disajikan ke khalayak bukanlah realitas yang sesungguhnya/first hand reality. Melainkan realitas yang telah dikonstruksi ulang atau yang biasa disebut second hand reality. Realitas yang telah diolah sesuai dengan pemikiran dan worldview masing-masing awak media untuk menjadi teks berita yang nantinya disebarkan ke publik.

Melihat kondisi yang ada tidak relevan lagi jika kita banyak menuntut media untuk bersikap netral di tengah relasi sosial, relasi kekuasaan dan politik ataupun dalam perubahan di tengah masyarakat. Sekarang yang menjadi bahan untuk kita kritisi adalah media melakukan keberpihakan ke mana? keberpihakan ke kebatilan dengan cara mendekonstruksi nilai yang telah disepakati bersama, merugikan kepentingan orang banyak dengan mengutamakan kepentingan golongan. Atau justru media berpihak kepada kepentingan orang banyak dan mengutamakan pelayanan publik dalam mendukung transformasi sosial/perubahan ke arah yang lebih baik.

Tentunya media yang akan kita dukung adalah media yang berpihak kepada kepentingan orang banyak, mengutamakan pelayanan publik dan mampu untuk menjadi motor perubahan sosial. Bukan media yang mencoba bermain aman menghindar dari realitas dan mendukung status quo.
Sekarang menjadi tugas kita bersama untuk memberikan wawasan kepada masyarakat agar mampu untuk bersikap kritis terhadap pemberitaan media, dan tidak menerima apa yang disajikan oleh media apa adanya tanpa reserve. Tentunya, Viva untuk media yang mencoba menjadi mobilisator masyarakat untuk ke arah yang lebih baik.

Gigih Pribadi
Expert Committee Diponegoro Media Watch
gigih_pribadi@yahoo.com/gigs_86@plasa.com