Jika kita berbicara mengenai permasalahan budaya konsumen/konsep konsumerisme secara langsung kita juga berbicara mengenai sebuah prilaku manusia dan sebuah gaya hidup zaman posmodern. Di zaman yang terus mengalami perubahan sosial guna mencari bentuk ini, ternyata tidak hanya menjadi zamannya Eropa ataupun Amerika saja yang menjadi asalnya-muasalnya atau yang biasa kita sebut sebagai Barat. Akan tetapi dengan berkembangnya teknologi komunikasi fenomena ini menjadi suatu hal yang Universal di Indonesia.
Salah satu perubahan sosial yang terjadi adalah perubahan mendasar pada gaya hidup masyarakat berdasarkan relasi konsumsi. Di dalam perubahan ini, peristiwa konsumsi tidak lagi dapat ditafsirkan sebagai suatu peristiwa dimana masyarakat mengkonsumsi suatu barang ataupun objek berdasarkan nilai gunanya/utilities dalam pemenuhan kebutuhan manusia saja, akan tetapi berkaitan juga dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu. Menurut Yasraf, Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural sosial dalam masyarakat. Yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya (Yasraf, 2004:179).
Budaya sendiri merupakan sebuah kata pungut dari bahasa Sansekerta; buddhaya, yang berdasarkan kepada kata bud yang kita kenal pula sebagai kata budi dalam bahasa Indonesia. Menurut Andreas Eppink, culture atau kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kata budaya bisa berarti: pikiran, akal budi, konsep adat istiadat segala sesuatu ungkapan manusia sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah seni, kultur, pakaian.
Lahirnya budaya Konsumen/Konsumerisme tidak dapat dipisahkan dari semakin berkembangnya kapitalisme awal menjadi advance capitalism/kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Terutama pada masyarakat Indonesia hal ini dapat kita lihat dari tinjauan historis semenjak berkuasanya ordebaru dimana investasi besar-besaran masuk dan kapitalisme awal mendapatkan tempat sampai perkembangannya kini. Apapun dapat menjadi komoditas merupakan slogan dari advance capitalism ditambah dengan dukungan media massa yang mampu menginternalisasikan nilai dalam masyarakat, semakin menguatkan budaya-budaya baru yang ada termasuk budaya konsumen. Sehingga dalam masyarakat konsumer, setidak-tidaknya terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek estetik, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser, serta kekuasaan media massa. (ibid : 180).
Konsumsi sebagai suatu proses menghabiskan atau mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan di dalam sebuah objek, berbagai macam pengaruhnya telah dikaji dan menjadi diskursus dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan analisis. Menurut sosiolog scheler konsumsi dapat dipandang sebagai kenyataan sosial yang dibangun melalui proses dialektika; eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Dalam proses ini terdapat penciptaan nilai-nilai melalui objek-objek artefak untuk kemudian mengakui dan menerimanya kembali. Dari sudut pandang linguistik, konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek olah para konsumer dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal ini, objek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakaiannya.
Lebih menarik dalam berbagai analisisnya, para ilmuwan sosial memberikan korelasi yang kuat adanya pengaruh antara budaya konsumen dan makna-makna sosial atau identitas-identitas individu. Seperti dialektika scheler, rupanya diambil dari istilah yang digunakan oleh Daniel Miller di dalam material culture and mass consumption, dalam menjelaskan konsep Hegel tentang hubungan dialektik antara subjek dan objek.
Menurut Miller, dalam proses objektifikasi ini melibatkan hubungan antara subjek dalam hal ini manusia, kebudayaan sebagai bentuk eksternal, dan artefak sebagai objek ciptaan manusia. Dalam konsep ini subjek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaaan objek-objek ataupun artefak yang dimaksudkan mampu memberikan diferensiasi dengan objek-objek yang ada sebelumnya. Kemudian menginternalisasikanya kembali (mengembalikan pada diri), nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi atau pemberian pengakuan. Akan tetapi subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaanya sendiri, karena ia membandingkan hasil ciptaannya dengan pengetahuan dan nilai yang absolut yang justru beranjak semakin jauh tatkala diacu sehingga yang muncul dalam diri subjek adalah rasa ketidakpuasan tanpa akhir.
Akan tetapi menurut Marx, karena Marx sendiri menghubungkan objektifikasi dengan relasi produksi. Bagi Marx subjek tidaklah mampu mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan artefak secara merdeka. Hal tersebut dikarenakan dirinya sendiri merupakan komoditi, yang diperjualbelikan tenaganya baik fisik maupun intelektual sama seperti objek yang diproduksinya. Di dalam relasi produksi semacam ini Marx melihat satu proses yang disebut penceraian (estrangement), yakni penceraian subjek (pekerja) dari hasil kerjanya. Akan tetapi seiring berkembangnya teknologi produksi yang menifestasinya berupa automatisasi dan komputerisasi, peran pekerja dapat diminamalisasi sedemikian rupa bahkan hampir dihilangkan sehingga penceraian yang dimaksudkan oleh Marx kian kehilangan makna. Kalaupun ada penceraian antara subjek dan objeknya, subjek tidak akan ambil pusing karena kini setelah orang lelah bekerja, orang dapat menghanyutkan diri dalam dalam ekstasi konsumsi seperti hiburan dan tontonan dalam ekstasi konsumerisme.
Di dalam masyarakat konsumer relasi antara subjek dan objek berkembang semakin kompleks. Kini subjek tidak harus melakukan penciptaan untuk mengeksternalisasikan baru kemudian menginternalisasi dirinya, akan tetapi hanya dengan mengkonsumsi kini subjek dapat sekaligus menginternalisasi dan mengeksternalisasi dirinya. Secara kasar boleh dikatakan kini mesyarakat konsumer hanya dapat dipandang dalam relasi konsumsi semata (consumer par-excellence). Karenanya pernyataan filosof Cartesian yang mengatakan -Aku berpikir, karenanya Aku ada- kini semakin kehilangan makna berganti –Aku mengkonsumsi, karenanya Aku ada- karena dalam realitas sosial, subjek menginternalisasikan nilai-nilai sosial,budaya dan objek-objek melalui tindakan konsumsi.
Dalam analisa bahasa dan pertandaan/semiotica konsumsi disini menjadi sebuah fenomena bahasa dan pertandaan, dan masuk dalam bahasan semiotika. Ketika kita mengkonsumsi objek-objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, akan tetapi juga untuk mengkomunikasikan /merepresentasikan /menandai /mengirim pesan. Dalam kenyataanya, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri melalui barang yang mereka miliki.
Mereka menemukan jiwanya pada mobil yang mereka miliki, perabot rumah mewah, dan barang- barang konsumtif lainnya seperti kita menggunakan perhiasan mahal untuk menandai kekayaan dan status sosial kita. Mekanisme pernyataan posisi seseorang di tengah masyarakat yang berubah dan berada dalam pengendalian sosial, kini terletak pada kebutuhan baru secara konsumtif (Burhan, 2001:24). Menurut Baudrillard, di dalam pola konsumsi yang dilandasi oleh nilai citra atau tanda daripada nilai guna atau utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika needs (need) melainkan hasrat (desire).
Bila kebutuhan dapat dipenuhi setidak-tidaknya secara parsial melalui objek-objek, hasrat sebaliknya tidak akan pernah terpenuhi, karena satu-satunya objek yang dapat memenuhi hasrat yang diproduksi oleh mesin hasrat adalah objek hasrat (seksual) yang berada dalam alam bawah sadar dan ini telah menghilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari subtitusinya-subtitusinya melalui dunia objek atau simbol-simbol yang dikonsumsi. Itulah istilah logika yang dipakai untuk menjelaskan reproduksi perasaan kekurangan (lack) dalam setiap manusia.
Dengan berkembangnya logika hasrat dalam manusia, akhirnya memacu kapitalisme mutakhir untuk terus memproduksi simbol-simbol dan tanda-tanda dengan cepat dan massal. Akibatnya dari objek-objek konsumsi yang mengalir tak putus-putusnya dalam kecepatan tinggi di dalam arena konsumerisme tidak pernah dan tidak akan pernah mampu untuk memenuhi memenuhi kebutuhan konsumers. Seperti halnya hasrat tidak akan terpenuhi oleh objek hasrat selamanya. Hal tersebut turut merubah identitas-identitas individu akan simbol-simbol dan citra dirinya. Bahkan dalam masyarakat konsumer muncul istilah yang mencerminkan realitas sosial yang ada yaitu ”Aku berganti, Karenanya aku ada”.
Hal itulah yang disebut sebagai skizorfenia yaitu proses pergantian identitas-identitsas dalam waktu yang singkat dan instan di tengah rimba tanda dan citra. Sehingga kini bukan lagi konsumen yang menguasai objek akan tetapi konsumen ikut dalam irama putaran objek yang tiada habisnya.
Dalam budaya konsumerisme, konsumsi tidak lagi diartikan scara harfiah hanya sebagai satu lalu lintas kebudayaan benda seperti halnya jual beli barang, dalam pemahaman konsumsi yang konvesional, akan tetapi menjadi panggung sosial, yang didalamnya terjadi perang posisi di antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Budaya konsumerisme yang berkembang merupakan satu arena dimana produk-produk konsumer merupakan satu medium untuk pembentukan personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Barang-barang konsumer pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat para konsumer pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat para konsumer menemukan makna kehidupan.
Konsumsi membentuk semacam totalitas objek-objek dan pesan-pesan yang dibangun di dalam sebuah wacana yang saling berkaitan. Konsumsi, sejauh ia mengandung suatu makna tertentu, merupakan satu tindakan pengguanaan simbol secara sistematis untuk menandai posisi sosial tertentu (Yasraf. 2004:189).
*Gigih Pribadi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro
DAFTAR PUSTAKA
Piliang, Yasraf Amir .1999. Hiperrealitas Kebudayaan.Yogyakarta: Lkis.
_______________, .2004.Dunia yang Dilipat; Tamasya melampui batas-batas
Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra.
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta : Jendela.
Turner, Bryan. 2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernnitas.Yogyakarta: Panta Rhei Books.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
William L Rivers,et.al. 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar