Jumat, 07 Desember 2007

Membangun Nalar Komunikatif- Dialogis



Penulis adalah intelektual asal Suriah yang kini menetap di Perancis. Ia menerjemahkan hampir semua karya Mohammed Arkoun ke dalam bahasa Arab. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 3 Thn. IV/27 Juli 1998 - Rabiul Akhir 1419 H. Tulisan ini pernah dimuat di dalam harian Asharq al-Awsat edisi 10 Juli 1998.


Upaya melahirkan sosok Islam modern yang selalu kita dambakan memang bukan perkara gampang. Setumpuk persoalan dan rintangan memerlukan solusi yang tidak mudah. Kita terpaksa harus berhadapan dengan buntunya saluran komunikasi. Bayangkanlah, bagaimana susahnya kita membangun nalar komunikatif-dialogis, seperti gagasan filsuf Jerman, Jurgen Habermas, di tengah-tengah komunitas Muslim dewasa ini.


Kita juga mesti mencairkan kevakuman internal sejarah bangsa kita sendiri. Kita harus "membersihkannya" secara total.


Demikian pula dengan tradisi budaya masa lalu. Udara segar harus ditiupkan supaya tradisi tersebut dapat menjadi motor penggerak emansipasi, bukan faktor penghambat yang melumpuhkan seluruh energi kreatif bangsa. Sebab, sejak produksi intelektual kita mandek --menyusul habisnya "masa bakti" filsuf-filsuf besar, seperti Ibnu Rushd dan Ibnu Khaldun-- praktis semuanya jadi kelam.


Ruang berpikir kita semakin menyempit. Apa yang "mungkin" kita bicarakan kini menjadi "mustahil". Alhasil, kita jadi takut terhadap diri kita sendiri. Jangan-jangan zaman kegelapan ini tak akan berujung. Dan pada akhirnya, yang dominan adalah Islam fatalistik dan budaya repetisi skolastik yang sangat menjemukan. Sementara Islam yang "mencerahkan", dialogis, dan rasional tersisihkan.


Sekarang ini, kita ibarat sedang sakit. Penyebabnya adalah tradisi kita sendiri. Begitu pula sebaliknya, tradisi itu sedang menderita karena "kitat". Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? Tak ada jalan lain, kecuali melakukan "pembedahan". Sebab, obat penenang saja tak akan memadai.


Saya berpendapat, ada dua metode untuk melakukan pembedahan ini: pertama, metode dekonstruksi. Dan kedua, eksplorasi arkeologis. Keduanya saling berkaitan.
Kata "dekonstruksi" yang diperkenalkan filsuf post-modernis, Jaques Derrida, kerap disalahartikan. Dekonstruksi tak selalu berkonotasi negatif, seperti destruksi atau penghancuran.


Dalam tradisi strukturalisme, pengertian dekonstruksi mengacu pada suatu proses "pemeretelan" sebuah instrumen atau struktur menjadi unit-unit dasar. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana konstruksinya pertama kali. "Operasi" ini pada gilirannya bermaksud membebaskan proses tadi dari suatu "muatan" tertentu. Juga, menghapus kesan aksiomatik yang sengaja diciptakan struktur itu buat dirinya; seakan-akan ia tak pernah terkonstruksi.
Ini berlaku pada semua hal, termasuk konsep-konsep masa lalu atau narasi-narasi besar yang telah menghantui kita lewat tradisi. Kita dibuat yakin bahwa semua itu akan tetap "begini" sepanjang waktu, seakan tak kenal perubahan.


Konsep-konsep seperti iman, akal, Tuhan, manusia dan ahlul-kitab, harus diterima apa adanya. Padahal, konsep iman dewasa ini berbeda sama sekali dengan yang pernah berlaku pada abad pertengahan. Iman yang sekarang itu lahir setelah kita mendekonstruksi iman lama.
Begitu juga konsep akal. Makna akal dalam wacana Qur'ani berbeda dengan yang mendominasi pemikiran era klasik menyusul persentuhan Islam dengan filsafat dan logika Yunani.
Lewat dekonstruksi, kita bisa melacak akal konsep-konsep tadi. Kita akan menyibak historisitasnya, konstruksi awalnya, serta persentuhannya dengan realitas. Dan, pada puncaknya, kita akan menjalin relasi baru serta bebas dengan tradisi.


Sementara eksplorasi arkeologis dapat ditelusuri jejaknya dalam pemikiran Michel Foucault, teoritisi andal asal Perancis. Melalui eksplorasi ini, kita akan sampai pada saat-saat dekonstruksi terjadi. Tanpa pelacakan arche-arche awal, sulit rasanya pembongkaran itu berlangsung.
Fungsi utama metode ini adalah membantu kita untuk mengungkap momen-momen awal terbentuknya diskursus-diskursus dalam Islam.


Sejatinya, pelacakan arkeologis mirip dengan psikoanalisanya Sigmund Freud. Psikoanalisa berusaha melacak trauma-trauma masa kecil seorang pasien untuk membebaskannya (katarsis) dari gangguan-gangguan psikologis masa kini.


Demikian juga dengan eksplorasi arkeologis. Ia melacak relung-relung terdalam tradisi untuk menguak dan menyoroti proses awal konstruksinya. Tujuannya, agar membebaskan kita dari gambaran mitologis dan teologis tentang tradisi itu. Serta, membekali kita dengan perspektif historis yang nyata.


Metode ini telah diterapkan dengan gemilang oleh seorang profesor studi keislaman asal Jerman, Joseph van Est. Ia melacak dengan cermat momen-momen awal Islam. Targetnya, mengungkap korelasi yang erat antara teologi dan proses sosial. Juga implikasi antara aliran-aliran teologis dan konflik-konflik sosial yang terjadi kala itu.


Apa yang saya paparkan bermuara dari sebuah pertanyaan sederhana: Islam yang bagaimana yang kita idamkan? Pertanyaan itu sendiri muncul akibat beragamnya visi dan corak pemahaman tentang Islam.


Keragaman ini dipicu oleh fakta bahwa kebenaran bukan milik satu pihak tertentu. Kebenaran itu bersatu di antara kita. Kebenaran lahir dari rahim ide-ide yang saling bertarung, dan gagasan-gagasan yang saling berbenturan. Dan, hanya nalar komunikatif dialogislah yang menjamin terwujudnya itu semua.


From: Mohamad Zaki Hussein

Tidak ada komentar: