Kamis, 06 Desember 2007

Media dan Netralitas dalam Relasi Sosial


Media dalam kiprahnya di tengah masyarakat selalu dituntut untuk bersikap netral dalam sirkulasi politik dan kekuasaan. Akan tetapi pada kenyataanya, media tidak akan pernah mampu bersikap ‘netral’ dengan memisahkan diri dari realitas. Terlebih karena media tidak beraktivitas di ruang ‘hampa’ tanpa relasi sosial dan kekuasaan.

Justru sebaliknya, media yang mempunyai peran sebagai agen transformasi publik tidak sepatutnya untuk bersikap ‘netral’. Tetapi media harus selalu berpihak kepada kebenaran, kepentingan publik, dan menjamin berlangsungnya proses transformasi sosial dalam masyarakat.

Melihat tulisan media netral? Mungkinkah?, Di kampus Fisip Undip 5/11/07. Menimbulkan sedikit rasa ingin tahu penulis guna mengetahui peran terbaik media yang bisa diberikan kepada publik. Apalagi media kini tengah mempunyai peran yang cukup signifikan, semenjak Indonesia memasuki eraReformasi yang juga era Demokrasi pasca Orde Baru. Tidak hanya di kampus, masyarakat-pun juga banyak yang mulai mempertanyakan peran media di tengah relasi sosial dan sirkulasi politik.

Seperti contoh Metro Tv yang turut mengangkat popularitas SBY-JK di kampanye Pilpres 2004 hingga meraih kemenangannya. Hal ini diakui secara langsung oleh Don Bosco Selamun Pimred Metro Tv pada waktu itu. Tidak hanya itu, belum lama ini dalam Pilkada DKI secara terang-terangan Metro Tv mendukung Fauzi Bowo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tentunya kebijakan itu menimbulkan banyak protes dari masyarakat yang berbeda orientasi politik dengan yang didukung oleh Metro Tv. Belum lagi kebijakan Tempo dan Kompas menolak RUU-APP yang sempat menjadi kontroversi di tengah masyarakat, Atau kebijakan Republika dan Sabili dengan umat Islam, bahkan semua media di Indonesia banyak melakukan hal serupa.

Banyak yang mencerca banyak pula yang melegitimasi kebijakan redaksional pemberitaan pada sebuah media. Kontroversi ini terjadi dikarenakan kekuatan media yang luar biasa. Media kini menjadi alat bantu untuk melihat realitas di luar jangkauan individu, menjadi jembatan (correlation) untuk melihat rangkaian peristiwa, memberikan makna dan bahkan mampu untuk memberikan nilai kepada masyarakat seperti mana yang baik dan buruk.

Menurut Sosiolog Herbert J. Gans bahwa landasan berita adalah sebuah gambaran mengenai negara dan masyarakat sebagaimana yang dipikirkan media mengenai hal yang seharusnya. Dalam hal ini menurut Gans media dalam pemberitaannya mempunyai tanggung jawab terhadap nilai yang ada di tengah masyarakat. Media harus selalu menjaga berlangsungnya kearifan, kebenaran, dan mengelola perubahan sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama, yang nantinya menjadi nilai normatif di tangah masyarakat.

Untuk menjaga peran sebagai stabilisator dan pewarisan nilai inilah, media akan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Apakah akan turut menjadi pelaku dengan bertindak sebagai mobilisator perubahan, atau hanya menjadi penonton tanpa melakukan tindakan apapun. Tampaknya pilihan yang pertama menjadi pilihan yang paling masuk akal. Karena perubahan adalah susuatu yang akan berlangsung terus menerus. Media sebagai institusi sosial harus turut ikut serta dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat. Agar fungsi-fungsi media dapat berjalan dengan semestinya dibandingkan jika tidak melakukan apapun dengan hanya menjadi penonton, tentunya media akan ditinggalkan oleh khalayak.

Selanjutnya, media dalam aktivitasnya tidak dijalankan oleh mesin. Media mempunyai redaktur, reporter, editor dan lainnya. Tentunya sebagai manusia para awak media ini juga mempunyai worldview/cara pandang melihat dunia masing-masing. Baik itu secara individu atau telah disepakati bersama sebelumnya dalam pendirian media. Belum lagi relasi pasar, kepentingan dan ideologi yang banyak bermain dalam menentukan pemberitaan.

Akibatnya realitas yang disajikan ke khalayak bukanlah realitas yang sesungguhnya/first hand reality. Melainkan realitas yang telah dikonstruksi ulang atau yang biasa disebut second hand reality. Realitas yang telah diolah sesuai dengan pemikiran dan worldview masing-masing awak media untuk menjadi teks berita yang nantinya disebarkan ke publik.

Melihat kondisi yang ada tidak relevan lagi jika kita banyak menuntut media untuk bersikap netral di tengah relasi sosial, relasi kekuasaan dan politik ataupun dalam perubahan di tengah masyarakat. Sekarang yang menjadi bahan untuk kita kritisi adalah media melakukan keberpihakan ke mana? keberpihakan ke kebatilan dengan cara mendekonstruksi nilai yang telah disepakati bersama, merugikan kepentingan orang banyak dengan mengutamakan kepentingan golongan. Atau justru media berpihak kepada kepentingan orang banyak dan mengutamakan pelayanan publik dalam mendukung transformasi sosial/perubahan ke arah yang lebih baik.

Tentunya media yang akan kita dukung adalah media yang berpihak kepada kepentingan orang banyak, mengutamakan pelayanan publik dan mampu untuk menjadi motor perubahan sosial. Bukan media yang mencoba bermain aman menghindar dari realitas dan mendukung status quo.
Sekarang menjadi tugas kita bersama untuk memberikan wawasan kepada masyarakat agar mampu untuk bersikap kritis terhadap pemberitaan media, dan tidak menerima apa yang disajikan oleh media apa adanya tanpa reserve. Tentunya, Viva untuk media yang mencoba menjadi mobilisator masyarakat untuk ke arah yang lebih baik.

Gigih Pribadi
Expert Committee Diponegoro Media Watch
gigih_pribadi@yahoo.com/gigs_86@plasa.com

Tidak ada komentar: